Labels

30/05/2020

Fear Not

Everytime you face me
Why can't you just feel free
Everytime I come to your vessel
Why can't you tackle

Never fear
I am a living thing and you are too
It's so crystal clear
I fight and so do you

Have some dignity
Show your class
Show no cowardice quality
So I shall pass

Will you be a hostile host for me
I need you to be carefree
Show how you've fought
Will you be able to fear not

(spoken by a virus😊)

27/05/2020

Balon Terbang

Lebaran hari kedua masih saya manfaatkan di rumah saja. Seperti biasa, saya menikmati langit pagi. Tentunya sambil melihat burung-burung beterbangan. 

Ada sesuatu di langit yang membuat mata saya lama memfokuskan pandangan. Saya memaklumi diri saya sendiri dengan kemampuan mata saya yang sudah berumur separuh baya😁. Ada beberapa titik putih yang terlihat.

Titik-titik putih itu saya pikir adalah bintang yang sangat kuat cahayanya. Sampai pagi cerah pun masih mampu mengeluarkan sinarnya.

Setelah saya beritahu suami saya bahwa masih ada cahaya bintang di pagi yang cerah, dia tertawa. Katanya dia juga melihat hal yang sama di pagi sebelumnya. Dia pikir itu bintang. Ternyata itu adalah balon terbang berwarna putih😂.

Ada beberapa daerah di kota tempat saya tinggal yang mempunyai budaya melepas balon pada saat hari raya Idul Fitri. Walaupun ada kabar bahwa resikonya adalah mengganggu penerbangan pesawat, beberapa daerah masih saja melepaskan balon ke udara.

Semoga saja kecanggihan teknologi navigasi penerbangan Indonesia bisa mendeteksi adanya balon terbang itu sehingga bisa meminimalkan kecelakaan pesawat terbang. 

Semoga juga balon udara yang berisi gas itu juga tidak tersangkut di kabel listrik agar tidak mengakibatkan kebakaran.

Semoga pula burung-burung yang sedang beterbangan tidak kebingungan ketika melihat balon-balon itu. Saya yakin burung-burung itu memiliki insting navigasi yang hebat agar tidak perlu menabrak balon-balon tersebut.


26/05/2020

The Voice Calling

Will it matter 
If you open your heart
Will you be able to ponder
The vastness of where our lives start

When lives bring you joy
What a tremendous happiness
Be like a little boy
With lots of toys and craziness

But when lives bring you down
Do you hear the voices calling
Calling from beneath the ground
Can you hear it summoning

Listen to it
Listen to the voice
It may be a fate
It's never a noise
Aren't you feeling great
With your own pure heart's voice

23/05/2020

Eid Mubarak 2020

Tomorrow morning is the day of Eid Mubarak. At this moment, my husband and I are sitting in the frontyard of our house with the lights intentionally out, enjoying the dark sky with full of stars (while I am typing for this blog of course).

Being unable to visit my mom in the other town because of this covid19 thing has made me realize that I need to remind myself that my mom is a strong woman. She is fine with this condition that her daughters cannot go back home. Thanks to covid19 for this chance of admiring the dark sky full of stars and the hopes and prayers for my mom to always be tough alone at home.

At this moment, too, I can still hear the busy traffic. There are very many vehicles passing by. I guess those people just want to know the situation of the town before the d-day of Eid Mubarak, regardless of the danger of covid19 infection. They probably can't stand staying peacefully at home, listening to the takbir from the mosques. 

What if the existence of covid19 is intended to let human beings contemplate the substance of life? To stay home means to be close with all the family members, to know them deeper, to love them more, to be together with them in the backyard or the frontyard to admire the universe, and to really listen to the takbir that can touch the soul.

Let's hope to see the next Ramadan and happy Eid Mubarak for everybody who is reading this.

Let me just continue admiring the dark sky full of stars tonight.


20/05/2020

Madiun Bangkit

Dua hari yang lalu, tepatnya hari Senin pagi, saya berhasil mengumpulkan tekad untuk membeli jagung pakan ayam di pasar besar kota. Stok jagung yang ada di rumah sudah habis, dan ayam-ayam terlanjur memilih jagung sebagai makanan favoritnya. 

Sebenarnya rencana untuk ke pasar besar sudah ada dari beberapa minggu yang lalu. Namun karena adanya covid19, rumah adalah tempat ternyaman. Setelah saya mengetahui sendiri ternyata ayam-ayam sangat menyukai jagung, saya putuskan untuk segera membeli ke pasar besar.

Betapa terkejutnya saya ketika saya menuju ke pasar besar. Sepanjang perjalanan, terlihat  bank-bank yang penuh dengan pengunjung. Terlihat juga antrian di beberapa kantor pos. Jalan menuju ke pasar besar pun padat. Kemacetan sempat terjadi. Sempat terbersit di benak saya untuk putar balik saja, dan membatalkan niat ke pasar. 

Namun, karena putar balik pun juga susah gara-gara terlalu padatnya lalu lintas, saya sabarkan diri untuk melanjutkan perjalanan ke pasar. 

Setelah sampai di area parkir motor yang sudah penuh sesak dengan banyak motor, saya langsung menuju kios penjual jagung yang tidak terlalu jauh dari tempat parkir. Saya sempat terpana dengan banyaknya orang di pasar. Di luar dugaan, pasar tersebut ternyata sangat ramai walaupun covid19 melanda.

Saya urungkan niat untuk membeli benda-benda selain jagung. Setelah jagung sudah saya dapatkan, saya mengambil motor dengan diiringi tatapan penuh heran dari tukang parkir. Dia pasti takjub melihat barang belanjaan saya yang cuma jagung. Dia sepertinya tidak memahami perasaan saya yang putus asa melihat keramaian pasar.

Madiun benar-benar bangkit. Bangkit menyambut Hari Raya Idul Fitri. Bangkit menyemarakkan perekonomian. Bangkit meramaikan kota yang seharusnya sepi agar covid19 tidak semakin merajalela. Kebangkitan tersebut entah membuat mereka lengah sehingga terpapar covid19, ataukah membuat covid19 jengah menyaksikan ulah manusia itu. Entahlah.

17/05/2020

Smile with Our Eyes

Who doesn't love to look at a beautiful, genuine smile? It warms our heart. So, if we want to warm others' heart, why not giving our bestest, most sincere smile? 

However, with our new habit of wearing a mask to protect from covid19, we are hiding that precious thing of ours. We are not able to show that our lips are really smiling.

If we cannot smile with our lips because of wearing a mask, we can still smile with our eyes, or smize. To show that we smize, or that we smile with our eyes, we just need to produce real smiling lips behind the mask. I guess everybody has the ability to produce a genuine smile. Then it is still easy to smize.

When we really master the art of smizing, we don't need our lips to produce a smile. We just need to use the area of our eyes. But it is not that easy. It needs a lot of practice. I am myself still working on it.

It will not be that difficult to smize when we assume that we are looking at our lovely pets or someone we love. Just imagine we are in that situation. Then when our lips are about to produce a smile, just hold it, and let our eyes continue the smile. Voila! We are smizing.

Be happy when smizing.

Di Balik Masker

Masker sedang mendunia. Berkat korona, usaha tekstil kecil-kecilan menjadi menggeliat untuk memproduksi masker. Orang-orang yang hilir mudik pun memperlihatkan masker beraneka warna yang mereka pakai. Pemakaian masker yang saat ini dipaksa untuk menjadi kebiasaan saya rasakan sebagai 'tantangan'.

Ada dua hal yang saya anggap sebagai tantangan dari pemakaian masker. Pertama, saya berjuang keras bernafas dari balik masker. Saya merasakan susahnya bernafas ketika saya memakai masker. Apalagi ketika saya sedang berbicara. Saya tersiksa dengan karbondioksida saya sendiri yang saya telan lagi.

Ketika saya diam, bernafas masih bisa lumayan lancar asalkan saya berkonsentrasi. Saya memaklumi diri sendiri karena belum terbiasa. Bernafas bisa agak menjadi lancar jika saya berkendara motor karena ada hembusan angin yang menerpa wajah. 

Hal berikutnya yang saya anggap sebagai tantangan jika pemakaian masker ini akan berlangsung terus menerus adalah menghilangnya satu ekspresi wajah orang yang menjadi favorit saya, yaitu senyum. Saya pasti akan selalu merindukan senyum orang-orang. Karena masker, saya terpaksa hanya fokus melihat area mata lawan bicara saya. 

Pada akhirnya, berkat pemakaian masker, kita mungkin saja bisa menjadi orang yang handal dalam bernafas meskipun akses udara untuk masuk hidung akan terhalang oleh kain. Kita juga bisa menjadi handal dalam membaca sorot mata orang. Kita jadi bisa membedakan mata mana yang bisa tersenyum tulus, mata mana yang tersenyum penuh kepalsuan, mata mana yang serius memperhatikan, dan mata mana yang benar-benar peduli dengan sekitarnya.

Semoga berhasil terbiasa dengan pemakaian masker.



06/05/2020

Following the Crowd is Not a Must

Have you ever wondered why you do what you are doing now? Have you ever thought about why you choose your choice? Do you think that it is from the real you or do you just follow what the society tells you to do or choose?

As a normal woman, for example, she must follow the norm, or the rule enforced by society. She must be able to cook, to master the femininely graceful walk, to dress nicely, and the other things related to feminity.

However, if she doesn't do what the society tells her to do, is she committing a crime? Let's say that she doesn't enjoy cooking. If she forces herself to enjoy cooking because of the norm, she must suffer emotionally. The enjoyment she finds from gardening, for example, will be considered not normal by the society.

A normal boy is usually asked by society to play outside for fun and for sport. He must also know how to hang out with other boys and talk about boys' stuff. If he, in fact, loves dancing, the society will consider him not normal. If he looks awkward when he is with some friends talking about hobbies, the society will think that there is something mentally wrong with him.

When it comes to living life fully, there is no obligation that we follow the crowd. It is still okay if you want to follow the crowd if you know what you are doing. When you decide to not follow the crowd, as long as you don't hurt others and you don't care that others judge you, I think there is nothing wrong with you.

For me, simply put, when I choose to not follow the crowd, I don't have any intention to be rebellious.  I am just feeling certain that I know what I do and I am willing to take any risk for that. I am sure I have the power from inside of me to live my life fully and to choose not to follow the mainstream.

Let me quote what Patrick Star says in Spongebob Squarepants series: "Sometimes we have to go deep inside ourselves to solve our problems." The crowd, or the mainstream, doesn't have any idea about what we need in our life. If we follow what the majority does, the result is ordinary. Do we want to get extraordinary result? Then follow what our heart tells us to do.


02/05/2020

Covid19 Memaksa Terjadinya Revolusi Pendidikan (Bagian Terakhir)

Betapa indahnya seandainya di pendidikan dasar dan menengah pertama (SD dan SLTP), siswa tidak dibebani banyak mata pelajaran. Tidak juga diadakan ujian yang ujung-ujungnya hanya membuat siswa berkompetisi karena label nilai yang mereka peroleh. Jiwa kompetisi bisa dimunculkan hanya khusus ketika mereka bertanding di olahraga.

Mata pelajaran yang diberikan untuk siswa SD harus berkaitan dengan pembentukan karakter dan pola berpikir analitis yang sederhana. Mereka harus dibentuk untuk menjadi anak yang sopan, berempati, dan berani menyampaikan secara lisan tentang apa yang menjadi pendapatnya ataupun apa yang dia ingin tanyakan. Untuk pembentukan pola berpikir analitis, matematika dasar cocok untuk diajarkan. Materi hitung menghitung ini harus relevan dengan kejadian sehari-hari yang siswa alami di sekolah dan di rumah.

Di tingkat SLTP, apa yang diperoleh di pendidikan dasar hanya perlu dimantapkan dan dimatangkan. Perlu juga diberi pemahaman tentang esensi mereka sebagai manusia. Sekali lagi, tidak perlu lagi terjadi transfer pengetahuan karena pengetahuan bisa mereka dapatkan dari buku atau internet jika mereka berminat. Yang perlu hanyalah transfer ilmu menjalani kehidupan.

Di tingkat SD dan SLTP ini, negara wajib mengatur dan menyamakannya untuk seluruh Indonesia. Kolaborasi yang manis harus terjadi antara guru dan orang tua siswa dalam mendidik. Misalnya, siswa dididik oleh guru di sekolah selama maksimal 4 jam. Di rumah, orang tua wajib mendidik selama 2 jam khusus untuk membentuk karakternya. Durasi 2 jam di rumah itu juga sesekali dipantau oleh guru.

Di tingkat menengah atas dan perguruan tinggi, negara tidak perlu terlalu mengatur dan membatasi gerak lembaga pendidikan di dua tingkat itu. Yang perlu dipahamkan di tahun pertama tingkat menengah atas (SLTA) tersebut adalah bahwa siswa sudah punya arahan tentang cara melanjutkan penghidupannya berdasarkan minat yang dipilih. Jika siswa nantinya berminat mencari nafkah di bidang teknologi, mereka bisa memilih SLTA atau perguruan tinggi rumpun teknologi. Atau rumpun ilmu yang lain yang mereka minati dan bisa menjadi lahan untuk mencari nafkah. Jadi sebenarnya di tingkat SLTA dan di atasnya, yang lebih diasah adalah ketrampilannya.

Apa yang saya sudah sampaikan adalah efek dari masa krisis wabah ini. Saya hanyalah seorang guru Bahasa Inggris yang suatu saat nanti profesi ini akan tergerus hilang karena modernisasi teknologi. Namun saya yakin saya tetap bisa mendidik, karena setiap orang punya kemampuan untuk mendidik.

Semoga ada perbaikan pendidikan di Indonesia.


Covid19 Memaksa Terjadinya Revolusi Pendidikan (Bagian 2)

Siapkah negara mendanai keperluan internet teknologi 5g, yang kabarnya mempunyai kecepatan luar biasa, tapi juga ada desas-desus akan adanya resiko tinggi terhadap makhluk hidup jika teknologi ini dipakai? Jika siap dengan dana dan resiko yang ditanggung, pendidikan versi the new normal yang sangat berbasis teknologi internet pasti bisa diterapkan.

Akan tetapi, dengan tidak bermaksud bersikap apatis, saya berpikir realistis. Melihat kondisi kota saya saja, Madiun, banyak daerah yang saya rasa masih mengalami kesulitan mendapatkan jangkauan internet stabil. Bagaimana nasib siswa yang tinggal di daerah itu jika harus ada pelajaran secara online dari gurunya?

Ironisnya, negara semakin gencar mengunggulkan penggunaan aplikasi-aplikasi berbasis internet untuk berbagai layanan, termasuk layanan pendidikan. Negara seakan-akan lupa bahwa ada banyak warganya yang sangat awam tentang internet.  Apakah mereka yang awam itu akan dipaksa oleh negara agar paham internet? Tegakah negara melakukan itu di saat krisis wabah tengah melanda sementara kasus kehilangan pekerjaan dan kesulitan pangan terus menerus terjadi?

Mengapa negara tidak memilih melakukan perubahan radikal untuk bidang pendidikan? Harus ada perubahan secara fundamental di sistem pendidikan di negara ini. Perubahan itu tidak harus muluk-muluk. Justru konsep yang sederhana yang seharusnya bisa mengena ke semua lapisan.

Ada banyak hal yang berkecamuk di benak saya tentang konsep pendidikan yang sederhana ini.

Model pendidikan dan pengajaran yang diterapkan sebelum internet merajalela adalah seperti layaknya transfer ilmu dari guru ke siswa. Model itu merupakan konsep yang sederhana versi masa lalu.

Konsep yang sederhana versi masa kini (saat internet jaya) adalah berupa transfer ilmu dari internet ke siswa. Ini berarti bahwa siswa bisa belajar atau memperoleh pengetahuan tanpa lewat guru. Saat ini untuk memperoleh pengetahuan hanya dibutuhkan one click away. Bagi yang ingin memperoleh ilmu tanpa lewat internet, banyak buku masih beredar.

Di Bagian 3 (terakhir), akan saya paparkan apa yang ada di benak saya tentang konsep pendidikan sederhana pasca covid19, yang seandainya saja negara mau menerapkannya, banyak pihak akan berbahagia. Guru akan benar-benar berjasa, siswa akan mendapatkan kejelasan tentang arah hidupnya, dan orang tua bisa berperan penuh sebagai guru di rumah.



Covid19 Memaksa Terjadinya Revolusi Pendidikan (Bagian 1)

Berdasarkan cerita yang saya dengar dari tetangga saya yang anaknya bersekolah di sekolah dasar, saya akhirnya memahami repotnya orang tua ketika mereka harus menghadapi anaknya yang terpaksa belajar di rumah akibat covid19. Tidak semua orang tua, terutama ibu, yang selalu siap sedia di rumah untuk menemani dan mengawasi anaknya belajar. Ada yang terpaksa bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan biaya sekolah anaknya. Tidak semua orang tua mampu secara finansial untuk membelikan telpon pintar untuk anaknya dan membiayai keperluan telpon pintar itu untuk keperluan paket datanya.

Bagi orang tua yang berprofesi sebagai pendidik atau guru, saya rasa itu bukan masalah besar karena mereka mempunyai pemahaman yang menyeluruh tentang konsep mendidik dan mengajar. Walaupun mereka harus membagi perhatiannya dengan murid-murid mereka yang harus belajar dari rumah, mereka mestinya tetap profesional dengan tugasnya sebagai guru.

Ditutupnya sekolah-sekolah untuk sementara karena wabah covid19 ini memang memaksa guru dan orang tua untuk berubah demi siswa. Guru dituntut untuk mahir menggunakan fasilitas teknologi untuk aplikasi pengajaran online. Orang tua dituntut untuk sabar dan pintar mengawasi anaknya di rumah ketika pelajaran online sedang berlangsung. Siswa generasi sekarang saya yakin pasti siap dituntut seperti itu, selama orang tua mendukung secara finansial dan selama negara memfasilitasinya dengan akses internet yang sangat handal.

Namun, dengan kondisi Indonesia yang berpulau-pulau, banyak pelosok, banyak desa di pegunungan, apakah negara mampu menjamin kelancaran internet demi suksesnya pengajaran online? Selain itu, dengan adanya konsep pendidikan yang selama ini selalu di sekolah, berada di dalam ruangan dengan durasi selama lebih dari setengah hari, apakah orang tua dan guru bisa menjamin bahwa siswa benar-benar siap berada di rumah selama masa wabah berlangsung? Bukannya mereka malah merasa bebas seperti keluar dari penjara? Dan akhirnya mereka memilih bermain dan bersantai, tidak memikirkan pelajaran. (Hampir setiap hari saya melihat ada layang-layang diterbangkan ataupun anak-anak yang lewat depan rumah sambil bergurau dan berteriak-teriak.)

Saya yakin wabah covid19 ini segera berakhir. Dan sekolah benar-benar hanya ditutup untuk sementara. Setelah ini, sekolah akan berfungsi normal. Entah itu berupa back to normal atau new normal. Yang jelas, negara dan pihak-pihak yang mengurusi penataan pendidikan di negara ini harus mengusahakan upaya yang maksimal jika pengajaran bermodel online akan tetap dilanjutkan, ataupun jika penggunaan internet untuk kepentingan kegiatan belajar mengajar ingin dimaksimalkan.

Saya akan melanjutkan tulisan ini pada Bagian 2, khusus untuk menyampaikan isi pikiran saya jika negara tidak bisa mengusahakan secara maksimal untuk kepentingan pendidikan versi the new normal.

Hari ini tanggal 2 Mei 2020, selamat Hari Pendidikan bagi semuanya.




01/05/2020

Why I Consider Life as a Rhythm

There are some concepts from some people, from ordinary persons to philosophers, about life. Some say that life is a journey. Some others say life is all about adventure. Other technical opinion says that life is the existence of the living things that separates from the dead things.

I face my own life like enjoying the rhythm of music. Music with the lyric or only instrumental music. Like living my life, some music is familiar to my ear, some other is so unfamiliar. But still, I listen to the beat. I dance if the rhythm is good for dancing. I sing if I know the song. I feel sad if it's melancholic. I cry if it touches my soul. I laugh if the lyric is funny or the rhythm is unpredictable. I am in awe if the notes sound so classic.

Life has an end; death. Music also has an end. And I definitely know that. But I don't know when that stops. So, when the music plays, I enjoy it by singing, or moving along with the music. Just like life. Just live my life. If life wants me to laugh outloud, why should I prevent myself from laughing? If life wants me to cry, why should I hold my tears? If life wants me to take what I deserve, why should I protest?

If you think that life is a journey, it means you have a destination. Every journey always has a destination. If it is a final destination, then your final destination is death. You will focus to live your life on the journey or on the death, that's your choice.

If you think life is an adventure, it means you have the guts to face the risks of living your life.  Does your adventure have an end? Surely it has. But you will focus on facing your adventurous, risky life.

So, do you want to consider your life as a journey, adventure, or rhythmic music? It's your choice. You don't have to follow my idea of living my life like I am enjoying the rhythm. But if you would, it feels good.