Selama ini saya berpikir bahwa semua orang pasti akan bisa lebih mudah bersin ketika menatap cahaya lampu yang terang atau matahari. Ternyata setelah saya sempat berbincang dengan seorang teman tentang bersin, teman saya itu bilang bahwa cahaya tidak memberi efek bersin buat dia. Yang membuat dia mudah bersin adalah bulu kucing, padahal dia pencinta kucing. Bisa saya bayangkan bagaimana nasib dia di rumah dengan kucing-kucingnya.
Buat saya, jika ada dorongan dari tubuh untuk menyuruh saya bersin, saya pasti akan sigap mencari sinar matahari biar bersin saya memuaskan. Beberapa kali saya mengalami masalah ketidaklancaran bersin hanya karena saya tidak melihat adanya kesempatan mencari cahaya matahari. Cahaya lampu di ruangan kadang masih terlalu lembut buat bersin saya. Apalagi jenis lampu LED. Tidak ada efeknya buat saya supaya bisa bersin. Sakit hati tidak karuan apabila bersin gagal dilakukan.
Pada kenyataannya, apa yang terjadi dengan tubuh saya yang berkaitan dengan bersin itu adalah sebuah kelainan yang tidak membahayakan. Setelah saya membaca beberapa artikel tentang itu, saya menjadi lega. Lega karena mempunyai kelainan yang unik. Lega juga karena masih ada banyak orang lain yang mempunyai kelainan itu.
Perbedaan yang lain adalah tentang kebiasaan mandi. Ternyata, ada yang mandi dengan sambil berdiri, ada juga yang mandi dengan sambil duduk. Saya pikir semua akan mandi dengan cara berdiri. Kalau perkara mandi, jelas itu bukan kelainan; itu hanya masalah kebiasaan dan bentuk kamar mandinya.
Satu lagi cerita tentang perbedaan yang saya temukan. Saat itu saya sedang berdialog dengan seorang perawat di sesi vaksin. Perawat itu bertanya tentang riwayat alergi saya. Saya jawab saja bahwa saya tidak tahu karena memang saya tidak terlalu memahami jika tubuh saya itu menolak atau menerima obat yang masuk ke tubuh saya. Yang jelas, saya selalu berusaha untuk tidak mengonsumsi obat dari apotik atau dari dokter, walaupun itu hanya paracetamol misalnya. Mungkin si mbak perawat itu mempunyai riwayat alergi dengan obat tertentu. Siapa tahu?
Lalu dia menanyakan keluhan lain kepada saya. Saya memang punya kendala asam lambung yang gampang naik sampai ke kerongkongan. Saya bilang ke perawat itu kalau saat asam lambung saya naik dan saya pas sedang merasa lelah, saya pasti mendapat serangan sesak nafas. Namun si mbak perawat itu langsung membantah saya. Dia bilang bahwa serangan asam lambung tidak ada hubungannya dengan sesak napas. Dia malah bercerita jika dia tidak mengalami sesak nafas jika dia sedang kelelahan. Dia memaksa saya agar segera periksa ke dokter.
Saya langsung dengan santai menimpali perawat itu. Saya bilang,"Lho Mbak, tubuh kita kan beda. Mestinya reaksinya juga bisa beda. Saya tahu cara saya sendiri untuk menyembuhkan sesak napas itu. Saya hanya perlu istirahat sejenak. Saya tidak perlu ke dokter".
Perawat itu tetap bersikukuh bahwa saya perlu untuk segera ke dokter dan melakukan medical check-up agar saya bisa mengetahui penyakit apa yang sedang saya derita. Saya sadar bahwa banyak sekali perbedaan antara saya dengan si mbak perawat itu.
Dia menomorwahidkan dokter; saya anti dokter. Dia menganggap semua penyakit lambung akan memberi efek rasa sakit ke perut; saya sendiri yang sudah memahami tubuh saya sendiri sadar bahwa serangan asam lambung bisa berefek ke sariawan, batuk, sakit tenggorokan, dada terasa terbakar, sesak napas, dan minimal sakit perut lah. Dia harus tahu tentang kondisi kesehatan tubuhnya dengan cara berkonsultasi ke dokter; saya tidak butuh ke dokter untuk mengetahui apa yang terjadi dengan tubuh saya.
Mungkin akan banyak orang menganggap bahwa saya terlalu konyol. Wajar saja jika orang berpendapat tentang cara hidup orang lain. Akan tetapi, paling tidak orang lain akan berusaha memahami mengapa terjadi perbedaan-perbedaan itu. Hendaknya mereka tidak menghakimi bahwa apa yang dilakukan orang lain itu salah atau tidak normal. Adanya perbedaan-perbedaan itu semestinya bisa membuat kita semakin mau untuk belajar dan mengamati sekitar dengan tujuan untuk tidak menghakimi; tapi untuk semakin memahami.