Kota Ponorogo, yang sangat terkenal budayanya, memang selalu menarik hati saya. Selalu ada yang membuat hati saya tergerak untuk lebih mencintai kota kelahiran saya itu. Setiap kali saya melintasi kota itu, selalu ada keinginan untuk berkunjung atau sekedar melewati daerah tempat tinggal saya ketika saya masih sangat kecil.
Saya tidak akan menuliskan tentang kota Ponorogo secara detail, karena itu bisa dibaca di halaman Wikipedia, ataupun dari media sosial yang berkaitan dengan Ponorogo. Saya hanya akan menceritakan beberapa kenangan yang membuat saya merasa mempunyai hubungan emosional dengan kota ini.
Saat saya masih berumur sekitar 4 tahun, ingatan saya lekat pada saat saya diajak ayah saya mengunjungi telaga Ngebel (objek wisata kebanggaan kota Ponorogo). Dengan mengendarai motor tua, saya duduk di depan, sementara di tempat duduk belakang digunakan untuk membawa durian. Saat motor sudah mendekati telaga, saya ingat saya saat itu sampai ternganga ketika melihat telaga Ngebel. Begitu menakjubkan. Begitu berkabut. Begitu sunyi menenangkan.
Kemudian saat saya menginjak pendidikan di sekolah menengah pertama, ada kenangan yang membuat saya terenyuh saat itu. Saya berada di bus rombongan study tour sekolah saya di Pacitan, kota kecil tetangga kota Ponorogo. Karena bus perlu beristirahat di area masjid kota dekat alun-alun Ponorogo, kami pun beristirahat sejenak. Beberapa teman saya ada yang bermain di area alun-alun. Saya hanya duduk di dalam bus sambil melihat polah tingkah teman-teman saya. Ketika bus mau berangkat lagi, tiba-tiba saya terisak diam-diam. Saat itu saya mungkin terlalu melankolis karena mau mengucapkan selamat tinggal pada kota kelahiran saya.
Menginjak dewasa, saat saya masih belum menikah, saya sering pulang kampung berkendara roda dua sendirian dari Madiun ke Pacitan. Ada satu kenangan misterius saat saya dalam perjalanan pulang ke Pacitan. Saat itu, saya berangkat dari Madiun tepat sehabis Shubuh, sehingga hawa pagi masih sangat dingin. Namun anehnya, ketika sudah melewati batas Madiun-Ponorogo (tepatnya di daerah Mlilir), hawa mendadak menjadi hangat, padahal saat itu belum melewati jam 5 pagi. Hawa hangat itu terus saya rasakan selama saya mengendarai motor saya hingga mencapai jembatan setelah Ponpes Gontor Putra. Setelah melewati jembatan itu, hawa dingin mulai menyerang lagi sampai saya tiba di Pacitan.
Dan di Ponorogo lah saya pernah mengalami kecelakaan terparah, yang terjadi pada sore hari di hari pertama Lebaran beberapa tahun yang lalu. Walaupun parah, saya dan suami saya masih beruntung karena banyak yang memberi pertolongan, dan masih tetap bisa melanjutkan perjalanan motor menuju Madiun. Sampai sekarang, setiap kali melewati jalanan lurus itu, tingkat konsentrasi selalu mendadak meningkat drastis.
Di balik keunikan Ponorogo yang memiliki budaya Reog yang penuh misteri dan yang merupakan kota kecil dengan pendidikan pesantren yang paling mumpuni, selalu ada kenangan yang tidak pernah saya hilangkan dari benak saya. Bertumbuh dari lahir sampai dengan saat saya berumur 6 tahun sudah cukup bagi saya yang sudah selama 42 tahun mengenyam hidup ini untuk selalu mengenang pesona kota ini.
No comments:
Post a Comment