Ada beberapa tempat yang memang diperuntukkan bagi banyak orang yang menerapkan larangan tertawa karena memang tempat itu butuh kesunyian. Misalnya masjid pada saat ibadah berjamaah sedang dilaksanakan, rumah orang yang salah satu keluarganya meninggal dunia, perpustakaan yang semua pengunjungnya pasti membaca dan butuh ketenangan, dan tempat-tempat lainnya. Namun, pandemi atau tidak, saya mempunyai kecurigaan bahwa suatu saat nanti tertawa terbahak-bahak di tempat umum manapun akan dilarang.
Larangan itu bisa jadi karena didasarkan atas hasil sebuah riset tentang resiko penularan penyakit melalui mulut yang terbuka dari orang yang tertawa lepas. Atau bisa jadi karena didasarkan atas hasil pengamatan tentang tingkat kegagalan meditasi akibat pengaruh suara tawa. Atau mungkin juga dikarenakan resiko kemunculan rasa marah dari orang yang merasa jadi bahan tertawaan.
Buat saya, tertawa menularkan kebahagiaan. Virus yang awalnya akan tertularkan karena tawa mestinya tidak jadi menyerang karena orang yang tertawa bersama dengan orang yang menyebabkan tawa sedang merasa bahagia. Seharusnya pemicu penyakit itu tahu diri dan tidak akan bisa merusak kebahagiaan orang-orang yang sedang tertawa lepas itu.
Namun, terkadang suasana bahagia akan jadi rusak jika ada satu orang saja yang bersikap mengendalikan dan menginginkan agar tertawa dihentikan. Perusak suasananya bukan dari virus yang ditularkan lewat tertawa, tapi dari orang itu. Mungkin saja sang pengendali itu akan melakukan sesuatu yang personal dan akan dilakukan di tempat umum. Semestinya, apapun yang akan dilakukan di tempat umum yang membutuhkan konsentrasi tingkat tinggi itu bisa dilakukan oleh orang yang tidak mementingkan kepentingan pribadi.
Dengan kata lain, orang itu tidak perlu menunjuk dirinya sendiri untuk menjadi pengendali kebahagiaan orang lain. Orang itu seharusnya bisa mengambil sikap dengan cara elegan. Mungkin dia bisa melakukan hal itu di tempat lain karena dia bisa jadi punya masalah dalam memusatkan perhatiannya. Dia termasuk orang yang mudah terpecahkan konsentrasinya dengan hal-hal sepele yang lain.
Kemungkinan yang lain, dia bisa saja menunda melakukan satu hal itu sebentar saja. Tidak ada salahnya dia ikut hanyut sekejap dengan kegembiraan tawa itu agar otaknya bisa sedikit lega dari kepenatan pikiran. Dengan begitu, kemampuan berkonsentrasinya nanti bisa ada peningkatan.
Saya merasakan semakin banyak orang seperti itu bermunculan. Entah apa yang menyebabkan itu. Yang jelas, suatu saat nanti, tertawa sebagai aktivitas refleks yang rileks dari tubuh akan dilarang! Senasib seperti ketika kita menguap di dalam kelas karena gurunya membosankan, atau seperti ketika membuang gas saat perut kita mengandung banyak gas akibat mengonsumsi makanan atau minuman tertentu.
Oleh karena itu, kita manfaatkan sebaik-baiknya dengan tertawa sehat di depan umum sebelum dilarang. Kita latih diri kita untuk tetap bisa tertawa walaupun tidak ada orang lain yang bersama kita. Kita bisa tertawa terbahak-bahak melihat tingkah laku hewan peliharaan kita, kita bisa mentertawakan diri sendiri ketika imajinasi kita menjadi aneh saat melihat gumpalan awan di langit, dan kita bisa tertawa sendiri saat mengenang memori lucu di kehidupan kita. Jangan biarkan kemampuan tertawa kita lenyap hanya gara-gara penguasa.
No comments:
Post a Comment