Labels

25/05/2018

Pasrahnya Tukang Ojek Konvensional

Dua minggu yang lalu, saya ngobrol dengan salah seorang tukang ojek konvensional. Saat itu memang saya sedang menunggu ibu saya yang akan berkunjung ke rumah saya. Saya menunggu ibu di dekat pemberhentian bus. Tak jauh dari situ, saya melihat ada pangkalan ojek konvensional. Saat saya sedang duduk sendirian, saya dihampiri oleh seorang pria separuh baya. Obrolan basa-basi berlanjut ke obrolan yang lebih serius tentang profesinya sebagai tukang ojek konvensional.

Bapak tukang ojek itu awalnya berprasangka bahwa saya juga tukang ojek, karena mungkin penampilan saya saat itu menyerupai tukang ojek; berjaket, bercelana panjang, dan membawa helm cadangan. Saya memaklumi prasangka dia karena memang ada tukang ojek, baik konvensional maupun online, yang berjenis kelamin perempuan. Walaupun saya sudah menjelaskan bahwa saya menjemput ibu saya, dia bilang "Nyari penumpang juga gak papa kok, Bu. Wong niatnya cari rejeki halal kok."

Dia kemudian bercerita bahwa dulu dia sempat tergiur untuk menjadi tukang ojek online. Maka dia kemudian berusaha mengumpulkan uang untuk membeli smartphone. Setelah diterima menjadi tukang ojek online dan mendapatkan fasilitas berupa jaket dan helm dari perusahaan ojek online tersebut, dia menjalani pekerjaan itu. Namun dia hanya bisa bertahan selama tiga hari (entah itu sesuai fakta atau dia membuat ceritanya terkesan dramatis). Dia tidak kuat dengan tekanan kerja sebagai tukang ojek online yang seakan tanpa henti, dari setelah subuh sampai malam hari. Dia merasa seperti tidak diberi kesempatan untuk beristirahat oleh aplikasi ojek tersebut.

Lalu saya bertanya ke dia apakah dia akan terkena sanksi jika tidak mengambil pesanan ojek yang masuk ke dia. Dia tidak mengetahui banyak tentang itu. Yang dia lakukan ketika dia sudah terlalu kelelahan, dia mematikan smartphone miliknya. Dia tidak ingin kondisi motor dan badannya semakin parah. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk mengundurkan diri. Dia pun sudah mengembalikan fasilitasnya ke perusahaan. Dia kembali menjadi tukang ojek konvensional.

Dia berusaha legowo dan pasrah dengan nasibnya yang hanya sebagai tukang ojek konvensional. Dia pikir kalau memang rejekinya, akan selalu ada penumpang yang membutuhkan jasa dia karena tidak semua orang memiliki smartphone. Dia bilang "Kerja gini aja sudah bersyukur. Itung-itung motor agak awet dan badan gak terlalu remek."

Kemudian bis yang ditumpangi ibu saya datang. Saya langsung berdiri karena saya lihat ibu saya sudah bersiap turun dari bus. Tukang ojek itu sepertinya baru sadar bahwa saya memang mau menjemput ibu saya; bukannya mau cari penumpang😀. Ketika ibu saya sudah saya bonceng, bapak itu dengan ramah bilang "Monggo, Bu. Hati-hati."

Perkembangan teknologi yang sangat cepat memang membuat beberapa gelintir orang tidak mampu mengikutinya. Beberapa alasannya berkaitan dengan dana dan area; dana yang hanya cukup buat makan sehari-hari, dan area yang tidak terjangkau oleh internet. Namun, dari beberapa gelintir orang itu, masih tetap ada orang yang selalu bersyukur dan menerima apapun yang diperolehnya.


No comments:

Post a Comment