Labels

30/12/2020

Inspirasi dari Telur yang Menetas

Suatu hari saat saya menonton salah satu video Youtube tentang anak ayam, saya membaca salah satu komentar yang menggelitik. Bunyinya kurang lebih seperti ini: "If an egg is broken by an outside force, life ends. But if it's broken by an inner force, life begins."

Sebuah telur akan berakhir kehidupannya jika dipecahkan dari luar. Namun jika dipecahkan oleh kekuatan dari dalam telur itu sendiri, kehidupan akan dimulai. Dengan kata lain, anak ayam akan bisa hidup jika dia menggunakan kekuatannya untuk memecahkan cangkangnya ketika dia masih berada di dalam cangkang telur itu dan dierami induknya. Sangat masuk akal.

Namun, apa yang terjadi pada beberapa anak ayam yang saya punya sedikit berbeda. Saat tiba waktunya sang induk ayam menyambut beberapa anaknya yang mulai keluar dari cangkangnya, saat itu pula saya perhatikan hari demi hari beberapa telur yang lain tidak segera menunjukkan keretakan tanda ada kehidupan di dalam cangkang tersebut.

Sang induk pun terlihat tidak sabar untuk segera turun dari tempat pengeramannya karena si anak-anak ayam yang sudah menetas mulai merasa butuh bergerak bebas.

Saya langsung membuat keputusan untuk mengambil lima telur yang belum menetas. Suami saya segera menyiapkan bola lampu untuk menghangatkan telur-telur itu. Kemudian saya letakkan telur-telur itu di kardus dengan diberi kain-kain dari baju bekas untuk menambah kehangatan.

Saat itu saya yakin masih ada kehidupan di dalam telur itu yang belum siap untuk keluar. Saya simpulkan seperti itu karena berat telur-telur itu yang masih normal. Jika sudah sangat ringan, biasanya memang tidak ada anak ayam di dalamnya; isinya hanya cairan.

Dan ternyata setelah dua hari dihangatkan oleh lampu dan kain, satu telur mulai terlihat retak dan terdengar suara anak ayam dari dalam cangkangnya. Kemudian disusul dengan dua telur yang lain.

Yang membuat saya heran, retakan-retakan itu seperti tidak berlanjut lagi. Seperti seakan-akan anak ayam di dalamnya sudah kehabisan tenaga untuk memecahkan cangkangnya. Dengan harap-harap cemas, saya coba untuk mengupasnya secara pelan-pelan. Saya kupas sampai tidak ada cangkang tersisa dari tubuhnya. Termasuk juga saya bukakan kulit arinya yang masih ada darahnya. Tinggal tersisa anak ayam yang masih meringkuk dan basah.

Tiga hari berturut-turut saya lakukan hal itu. Saya tidak mau melakukan hal yang sama di hari yang sama untuk ketiga telur yang sudah retak tadi karena selain tidak tega, saya kuatir jika ternyata setelah saya kupas, anak ayamnya malah tidak bisa bertahan hidup karena pecahnya cangkang bukan dari tenaga dia sendiri, melainkan dari (paksaan) saya.

Ternyata tiga anak ayam tersebut sudah menunjukkan tanda-tanda ayam yang sehat. Mereka sudah bisa makan dan minum. Masih ada dua telur lagi. Salah satu sudah menunjukkan ciri telur yang rusak (kopyor). Masih ada harapan dari satu telur terakhir.

Telur yang terakhir itulah yang benar-benar saya paksa mengupasnya. Dari satu retakan kecil di area paruh kecilnya, saya bulatkan tekad untuk mengupasnya walaupun sempat ada banyak tetesan darah dari cangkang dan kulit arinya.

Anak ayam yang terakhir saya kupas itu butuh waktu tiga hari sampai benar-benar bisa berdiri, makan, dan minum. Selama tiga hari itu, saya terus melihat perkembangannya. Saya pikir, jika ternyata sang anak ayam terakhir itu tidak bisa bertahan hidup, paling tidak dia sudah bisa merasakan keluar dari cangkangnya. 

Sampai detik ini, keempat anak ayam itu masih bisa bertahan. Tanpa induk ayam. Mereka sudah berumur sekitar dua bulan. Sementara ini, sayalah induknya 😅. Foto berikut ini saya ambil saat mereka masih berumur sekitar tiga mingguan.

Kesimpulan saya berdasarkan apa yang saya saksikan dan alami sendiri tentang petikan komentar di YouTube tersebut di atas tidak seratus persen benar. Sudah tentu pernyataan tersebut murni benar seratus persen bagi orang yang pertama kali mengungkapkan pendapat itu karena bisa jadi itu bersumber dari pengalaman dia. (Setelah saya sempatkan mencari-cari dari internet, ternyata sumber aslinya adalah dari Jim Kwik, seorang YouTuber sekaligus motivator.)

"If an egg is ready to hatch, either the shell is broken from the inside or outside, it is ready to begin its life." Kalimat itu yang sepertinya lebih pas berdasarkan apa yang telah terjadi pada beberapa anak ayam saya.

Karena ada orang yang merasa bisa hidup dan terlahir sebagai manusia berkat bantuan dan motivasi dari orang-orang di sekitarnya. Dan ada juga orang yang mempunyai kekuatan dari dalam dirinya sendiri untuk memotivasi dan menempa diri agar bisa menjadi manusia yang hidup. Hidup dengan penuh makna.

Selamat menanti datangnya 2021. Semoga selalu bisa terinspirasi dari hal sekecil apapun, sehingga bisa memberi makna dalam kehidupan.


24/12/2020

Feeling like a tree

I am aware that being a pet lover needs some patience. Feeding is one thing. Giving food to my pets has trained me to understand that they have their biological clock. If I am late in feeding them, they will be louder than usual.

Playing time is another thing. I don't need to spend longer time to play with my cats since they sleep for almost the whole day. But hanging out with my little chickens is a totally different thing. Just sitting down under a water apple tree while looking at all my chickens walking here and there near me feels like playing with them.

I often feel kind of silly when I have to sit still while the little chickens are about to come up to my shoulders and head just to rest their butts. 

Maybe they think that I am a big tree and they need my branches to sit on, avoiding the attacks from bigger chickens.

While sitting, they like to clean their own body by picking their feathers and then standing a minute to be able to shake their body, letting all their dirt and dead skin fall on to my body.

They also often peck my face, my hair, my ears, and my clothes. And I just stay quiet because I pretend to be a tree. The longer they sit on me, the bigger the possibility they poop on my clothes. And there I am, dirty and happy. 
 

21/12/2020

Memanjakan Mata

Setelah dua kali gagal mencari jalan tembus antara desa Bodag (kecamatan Kare, Madiun) dengan desa Ngranget (kecamatan Dagangan, Madiun), akhirnya hari Minggu kemarin berhasil. Buat saya yang juga berasal dari daerah pegunungan, rute Bodag-Ngranget cukup menantang.

Dengan pemandangan lereng gunung Wilis yang menyejukkan mata, perjalanan roda dua melewati Bodag hanya butuh ketangkasan melewati banyak tanjakan yg berbelok-belok. Jalan beraspal memudahkan suami saya untuk mengendarai motor. 

Ketika sudah menemukan jembatan batas desa Bodag dengan desa Ngranget, jalanan berubah drastis. Jalan berbatu menyambut kami untuk menguji kesabaran. Sudah pasti kami mudah bersabar karena suguhannya adalah hutan.

Benar-benar hari memanjakan mata. Walaupun sesekali saya sempatkan untuk memotret dengan kamera ponsel, mata saya lebih sering memilih melihat langsung daripada melihat lewat kamera. 

Ketika telah masuk peradaban manusia di desa Ngranget dengan jalan yang sudah beraspal, kami berpapasan dengan beberapa warga yang selalu menyapa walaupun mereka tidak kenal dengan kami. Sebenarnya saya memiliki teman yang tinggal di desa tersebut. Namun, misi kami hari itu adalah menjelajah, sehingga kami memutuskan untuk tidak mampir. 

Jalan beraspal di desa Ngranget yang kami lewati berakhir di hutan jati. Jalan aspal sudah habis; tinggal jalan berbatu yang menuju ke dalam hutan. Karena waktu masih belum mendekati Dhuhur, kami putuskan untuk memilih melewati jalan berbatu tersebut. Asumsi kami, jalanan itu pasti menuju desa sebelah, yang lokasinya pasti semakin mendekati kecamatan kota. 

Jelajah hutan jati tersebut sering saya lalui dengan cara turun dari boncengan motor dan saya lanjutkan dengan berlari-lari kecil karena kondisi jalan berbatu yang cukup beresiko jika saya tetap berada di boncengan. Hutan yang benar-benar sepi dari orang tetapi ramai dengan suara burung dan suara pepohonan yang diterpa angin. 

Benar-benar puas mata saya hari itu. Hari Minggu yang menyambut datangnya libur akhir tahun itu saya gunakan untuk memanjakan mata dan paru-paru. Mata yang bebas menyaksikan keindahan, dan paru-paru yang bebas menerima oksigen karena saya dan suami tidak perlu bermasker selama perjalanan melewati hutan-hutan.