Hari Minggu, tanggal 17 April 2016 terjadwal untuk berpetualang mengeksplorasi karesidenan AE bersama suami. Sasaran kami adalah perbatasan Ponorogo-Trenggalek, yaitu kecamatan Sawoo. Kami menghindari lalu lintas padat jalur provinsi. Lebih menyenangkan melewati jalan pedesaan karena kami tidak sedang terburu-buru. Saya dan suami tidak lupa untuk mampir di Jabung yang terkenal dengan dawetnya, dan yang harganya masih tetap murah; Rp 2500 per mangkok. Setelah selesai ndawet, kami melanjutkan perjalanan roda dua ke arah Sawoo. Setelah melewati persawahan dan perkampungan, akhirnya kami sampai di jalur antar kota Ponorogo-Trenggalek. Sudah terlihat bis usang jurusan Ponorogo-Trenggalek yang sedang berjalan pelan. Kendaraan yang lain hanya berupa truk dan mobil pribadi yang hanya sesekali melintas atau berpapasan. Sepeda motor pun juga tidak banyak. Jadi walaupun banyak tanjakan, kami serasa melewati jalan tol yang bebas hambatan.
Sebenarnya ada 2 hal yang baru yang kami temui selama perjalanan menuju ke perbatasan Ponorogo-Trenggalek. 2 hal itu sama-sama mengejutkan. Yang pertama adalah adanya pembangunan bendungan di tepat setelah perbatasan. Letaknya di kecamatan Tugu, Trenggalek. Bendungannya dinamakan bendungan Tugu. Benar-benar megaproject untuk pembangunan sekelas kabupaten kecil. Saya dan suami saya sebenarnya ingin sekedar beristirahat di warung yang ada di perbatasan. Namun karena banyak orang yang juga beristirahat menikmati sejuknya hawa di situ, terpaksa kami meneruskan gelinding roda motor sambil mencari warung lain di sepanjang hutan sejuk itu. Eh, malah kami dikejutkan oleh pemandangan di sisi kanan jalan yang berupa jurang yang terlihat banyak truk. Ternyata itu adalah untuk pembangunan bendungan tersebut.
Kejutan yang kedua baru saya sadari ketika perjalanan pulang. Setelah melihat pembangunan bendungan Tugu, kami memutuskan untuk pulang. Otomatis kami melewati jalan yang baru saja kami lewati. Pada saat perjalanan berangkat tadi, saya sering mengomel karena jalannya aduhai banyak lubangnya. Jalanan itu ada di kecamatan Sawoo. Suami saya pun sama; ngomel-ngomel juga. "Iki bupatine eruh pora?" adalah salah satu omelannya. Saya dan suami saya terus bersahut-sahutan komentar dan omelan mengenai jalan rusak itu. Omelan mulai berhenti ketika jalan sudah mulai mulus dan pemandangan sudah mulai bagus karena sudah hampir puncak, mendekati perbatasan. Nah, ketika perjalanan balik itulah yang membuat saya sadar bahwa ada hal lucu sekaligus miris yang saya lewatkan pada saat perjalanan berangkat karena hanya fokus mengomentari jalan rusak. Ternyata ada tulisan-tulisan bernada protes yang dipasang di sisi kiri kanan jalan. Tulisan itu memprotes kondisi jalan dan sekaligus memperingatkan pengguna jalan agar lebih pelan ketika melewati jalan itu. Lucunya adalah kalimat kreatif yang dituliskan. Contohnya, "jeglongane joss", "cintamu tidak sedalam lubang ini", "numpak montor rasa kuda", dan lain-lain. Mirisnya adalah ternyata kondisi jalan seperti itu sudah cukup lama. Yang mengherankan adalah pihak pemkab Ponorogo. Masak sih mereka tidak tahu menahu tentang kondisi jalan itu? Mestinya pihak kecamatan Sawoo sudah melaporkan kondisi tersebut kepada pemkab Ponorogo. Dan mestinya pemkab sudah melaporkan ke pemprov Jatim tentang kerusakan jalan itu. Karena jalan itu adalah jalan provinsi, berarti tanggung jawab perbaikannya ada di tangan pemprov.
Bagi yang ingin mengecek sendiri, selamat jalan-jalan.
No comments:
Post a Comment