Saya teringat tulisan di media sosial tentang padi dan rumput: Jika menanam padi, kemungkinan besar rumput pun bisa tumbuh, tetapi jika menanam rumput, tidak mungkin akan tumbuh padi. Sangat logis secara ilmu pertanian. Secara ilmu kehidupan, ya mesti logis juga.
Kita ibaratkan padi adalah tindakan yang bermanfaat. Sedangkan rumput adalah tindakan yang tidak bermanfaat. Ketika kita melakukan tindakan yang bermanfaat, bisakah muncul tindakan-tindakan yang tidak bermanfaat sebagai reaksi dari tindakan bermanfaat yang kita lakukan? Sebagai contoh, ketika kita memberikan beras untuk tetangga kita yang kurang mampu, mungkinkah muncul prasangka dari tetangga kita yang lain bahwa kita hanya berniat pamer? Atau bahkan orang yang kita beri beras itu berprasangka bahwa kita ada maunya? Mungkinkah juga ada rasa iri yang timbul dari tetangga kita yang lain karena dia tidak diberi beras? Kemungkinan-kemungkinan buruk itu pasti ada.
Sebenarnya, efek positif dari tindakan kita pun akan muncul. Misalnya, tetangga kita tidak jadi kelaparan, kita pun bisa merasa bahagia karena bisa membantu orang, dan mungkin juga tetangga kita yang mampu menolong bisa termotivasi untuk menolong juga. Walaupun efek positifnya selalu ada, yang negatif pun bisa muncul pula. Jadi, jangan merasa heran ketika kita melakukan kebaikan, akan muncul efek-efek yang tidak baik. Ingatlah bahwa petani padi pun mengalami hal yang sama; niatnya menanam padi agar bisa dikonsumsi, malah rumput pun ikut tumbuh subur. Apakah petani marah ketika tahu bahwa rumput ikut tumbuh subur di tanaman padinya? Kalaupun memang dia marah, dia tidak membabati padinya sekalian; yang dia babat hanya rumputnya.
Nah, saya pernah dengan sengaja menanam satu jenis rumput. Pastinya yang tumbuh subur ya rumput itu, dan di sekelilingnya tumbuh rumput-rumput jenis lain yang ikut subur juga. Tidak ada padi yang tumbuh. Lha wong saya memang tidak menancapkan benih padi di tanah tempat rumput itu. Sama halnya dengan melakukan tindakan yang tidak bermanfaat. Sebagai contoh, ketika kita berkata kasar kepada orang lain, pasti akan muncul efek-efek negatif. Orang itu akan merasa sakit hati kepada kita. Suatu saat mungkin dia akan membalas perbuatan kita. Efek lainnya adalah rasa penyesalan kita. Adakah efek positif dari apa yang kita lakukan itu? Jika memang kepuasan diri kita setelah berkata kasar tersebut dianggap sebagai efek positif, berarti itu kurang tepat. Itu adalah pelampiasan hawa nafsu; dan pelampiasan hawa nafsu apapun merupakan hal yang tidak ada manfaatnya.
Jadi, jangan pernah takut melakukan kebaikan walaupun akan muncul reaksi-reaksi yang tidak baik dari kebaikan kita itu. Jika kita kuatir akan munculnya reaksi-reaksi negatif itu, kita tidak akan pernah melakukan kebaikan. Jika niat kita mulia, reaksi-reaksi negatif tersebut akan terkikis dengan sendirinya.
20/11/2015
22/04/2015
Doing what you love
Have you ever been in a moment when you are still questioning about your passion? Is it true that what you are doing now is really your true passion? Or is it just the thing that you have to do to make a living?
Some days ago, I met an old friend of mine. She sold products of a famous brand. And I got interested in buying one product. After the transaction, she tried to influence me to join her to become the member. She said that it was a nice way to make money; by selling the products. I said no. The shocking thing coming from her mouth was: "Why are you so lazy to make money? You have to earn a living! So, selling these products is a good way. Why do you say no?"
Well, am I wrong if I say no? People with passions in selling will, of course, say that I am very very wrong. I am stupid, they say. But how if I say that I have my own passion in making money, and that's not selling products? I think people with passions other than selling will agree with me. We don't have to earn a living by selling products. We can earn a living by doing the things that we love. For example, if I really love gardening, I can do many things with that hobby. I can design a small park; I can give a short course on gardening; I can work in a florist; or even I can have my own florist. What?? Having my own florist?? Doesn't that mean I sell my flowers? If yes, what's wrong? That's my own business and I love that, and some people want to love that too. And if they want to buy the flowers from me, will I say no? Of course I will say yes. It's like meeting a soul mate when you love flowers and you meet a person who loves flowers too. And thanks to God if I can make money from doing the thing that I like. With all my heart, I would love to survive in that business.
Truly speaking, gardening is not my hobby. I was just giving an example. I have my own passion which I am doing with all my heart. God knows that I love doing that, so I believe He will give me what I deserve.
Some days ago, I met an old friend of mine. She sold products of a famous brand. And I got interested in buying one product. After the transaction, she tried to influence me to join her to become the member. She said that it was a nice way to make money; by selling the products. I said no. The shocking thing coming from her mouth was: "Why are you so lazy to make money? You have to earn a living! So, selling these products is a good way. Why do you say no?"
Well, am I wrong if I say no? People with passions in selling will, of course, say that I am very very wrong. I am stupid, they say. But how if I say that I have my own passion in making money, and that's not selling products? I think people with passions other than selling will agree with me. We don't have to earn a living by selling products. We can earn a living by doing the things that we love. For example, if I really love gardening, I can do many things with that hobby. I can design a small park; I can give a short course on gardening; I can work in a florist; or even I can have my own florist. What?? Having my own florist?? Doesn't that mean I sell my flowers? If yes, what's wrong? That's my own business and I love that, and some people want to love that too. And if they want to buy the flowers from me, will I say no? Of course I will say yes. It's like meeting a soul mate when you love flowers and you meet a person who loves flowers too. And thanks to God if I can make money from doing the thing that I like. With all my heart, I would love to survive in that business.
Truly speaking, gardening is not my hobby. I was just giving an example. I have my own passion which I am doing with all my heart. God knows that I love doing that, so I believe He will give me what I deserve.
09/03/2015
begal kok dipelihara
Pagi tadi, untuk yang kesekian kalinya, saya disuguhi berita tentang begal motor. Setiap hari selalu ada berita tentang itu. Sempat terjadi perdebatan kecil dengan suami saya ketika kami sedang menonton berita itu. Saya bilang kalau ramainya begal itu gara-gara sering diberitakan. Seperti virus; ketika ditularkan, akan cepat menjangkiti banyak orang. Anggap saja satu berita begal itu virus. Ketika disiarkan beritanya (=baca: ditularkan), pasti akan banyak kejadian yang serupa. Dan hal itu akan terus disiarkan. Saya sampai bilang bahwa pemberitaan tentang begal malah memicu niat jahat orang untuk membegal pengendara motor. Maksud baik pemberitaan adalah memberitahu masyarakat untuk lebih waspada, tapi pada kenyataannya malah semakin banyak korban bermunculan. Suami saya berpendapat lain. Dia bilang bahwa semakin banyaknya korban begal diakibatkan karena kepolisian yang kurang tanggap.
Nah, ada di manakah para polisi ini? Kalau saya lihat, di setiap pos jaga polisi, mesti ada polisi yang bertugas. Dan mesti ada televisi yang menyala. Mestinya mereka menonton berita itu. Yang menjadi pernyataan adalah bagaimana reaksi mereka ketika menonton berita tentang begal itu. Apakah mereka saling berkomentar seperti layaknya bapak-bapak atau mas-mas yang ngopi di warkop sambil menonton berita? Atau apakah mereka langsung tergerak jiwa profesinya untuk segera membantu mengamankan daerahnya? Andaikan jiwa profesi mereka tergerak, mereka tentunya tidak boleh asal mengambil tindakan. Mereka harus menunggu perintah dari atasan. Masalahnya, apakah sang atasan berani tegas untuk mengambil tindakan? Lha wong mau ke mana-mana saja harus dikawal... Pengawalan untuk atasan mungkin saja bagian dari prosedur, namun harus dicamkan di benak semua polisi baik atasan maupun bawahan bahwa yang harusnya dikawal dan dilindungi adalah masyarakat.
Pernah suatu hari Minggu pagi, jam 1 dini hari, saya dan suami berkeliling kota Madiun. Niatnya ingin melihat keramaian pasar besar pas dini hari. Beberapa daerah tertentu masih ramai oleh anak muda yang nongkrong tiada guna sambil memamerkan motor dengan knalpotnya yang memekakkan telinga. Ada juga daerah yang kiri kanan jalannya penuh dengan parkir mobil dan motor karena di situ ada beberapa diskotik. Dan tentunya pasar besar. Pasar besar inilah yang ramai tapi membuat hati nyaman, tidak was-was. Tempat ramai lainnya pada dini hari itu membuat hati saya was-was karena bisa jadi rawan kejahatan. Dan ajaibnya, tidak terlihat satupun polisi yang hidup!! Pos polisi terlihat anteng karena tidak jelas apakah polisi di dalamnya sedang terjaga atau tertidur. Ya wajarlah kalau kejahatan semakin marak karena sang pengayom masyarakat terkesan ingin mengayomi diri sendiri. Pengayom masyarakat yang benar-benar ingin mengayomi masyarakat hanya ada di film-film.
Akan lebih tentram rasanya jika berita-berita kriminal tidak disiarkan untuk masyarakat, tapi untuk polisi saja, agar polisi tahu tanggung jawabnya. Jika masyarakat terlalu dicekoki berita-berita kriminal, mereka akan semakin terpuruk dengan rasa ketakutannya. Bagi mereka yang punya otak kriminal, mereka akan terpicu untuk semakin giat melakukan aksi kejahatan.
Nah, ada di manakah para polisi ini? Kalau saya lihat, di setiap pos jaga polisi, mesti ada polisi yang bertugas. Dan mesti ada televisi yang menyala. Mestinya mereka menonton berita itu. Yang menjadi pernyataan adalah bagaimana reaksi mereka ketika menonton berita tentang begal itu. Apakah mereka saling berkomentar seperti layaknya bapak-bapak atau mas-mas yang ngopi di warkop sambil menonton berita? Atau apakah mereka langsung tergerak jiwa profesinya untuk segera membantu mengamankan daerahnya? Andaikan jiwa profesi mereka tergerak, mereka tentunya tidak boleh asal mengambil tindakan. Mereka harus menunggu perintah dari atasan. Masalahnya, apakah sang atasan berani tegas untuk mengambil tindakan? Lha wong mau ke mana-mana saja harus dikawal... Pengawalan untuk atasan mungkin saja bagian dari prosedur, namun harus dicamkan di benak semua polisi baik atasan maupun bawahan bahwa yang harusnya dikawal dan dilindungi adalah masyarakat.
Pernah suatu hari Minggu pagi, jam 1 dini hari, saya dan suami berkeliling kota Madiun. Niatnya ingin melihat keramaian pasar besar pas dini hari. Beberapa daerah tertentu masih ramai oleh anak muda yang nongkrong tiada guna sambil memamerkan motor dengan knalpotnya yang memekakkan telinga. Ada juga daerah yang kiri kanan jalannya penuh dengan parkir mobil dan motor karena di situ ada beberapa diskotik. Dan tentunya pasar besar. Pasar besar inilah yang ramai tapi membuat hati nyaman, tidak was-was. Tempat ramai lainnya pada dini hari itu membuat hati saya was-was karena bisa jadi rawan kejahatan. Dan ajaibnya, tidak terlihat satupun polisi yang hidup!! Pos polisi terlihat anteng karena tidak jelas apakah polisi di dalamnya sedang terjaga atau tertidur. Ya wajarlah kalau kejahatan semakin marak karena sang pengayom masyarakat terkesan ingin mengayomi diri sendiri. Pengayom masyarakat yang benar-benar ingin mengayomi masyarakat hanya ada di film-film.
Akan lebih tentram rasanya jika berita-berita kriminal tidak disiarkan untuk masyarakat, tapi untuk polisi saja, agar polisi tahu tanggung jawabnya. Jika masyarakat terlalu dicekoki berita-berita kriminal, mereka akan semakin terpuruk dengan rasa ketakutannya. Bagi mereka yang punya otak kriminal, mereka akan terpicu untuk semakin giat melakukan aksi kejahatan.