Labels

07/01/2013

Ayam dan mushola

Apa yang terpikir jika Anda melihat seekor anak ayam sendirian, tanpa induknya tapi tidak terlihat sedang mencari induknya? Mungkin Anda berpikir bahwa ayam ini sudah ditinggal induknya untuk bertelur lagi. Kalau Anda melihat dia sedang kelaparan (temboloknya terlihat kosong), akankah Anda biarkan saja? Sejahat-jahatnya orang, dalam hati kecilnya pasti akan terbersit pikiran: "Kasihan anak ayam itu", "Apa tak kasih sejumput beras saja, ya?", dan lain-lain yang pada intinya Anda tergerak untuk menolong (kasus akan berbeda jika Anda menderita fobia pada ayam).

Tepat setelah hati nurani Anda berkata, Anda langsung mengambil sejumput beras lalu memberikannya kepada anak ayam itu, Anda adalah orang baik. Namun, setelah hati nurani menyuruh Anda untuk menolong anak ayam itu, ternyata pikiran rasional Anda berkata bahwa anak ayam ini bukan milik Anda, Anda gagal jadi orang baik. Apalagi Anda malah mengusirnya, melemparinya dengan batu kerikil; Anda adalah orang jahat!

Kembali lagi ke niat untuk melakukan perbuatan baik, yaitu memberi makan pada anak ayam dalam kasus ini. Anggap saja anak ayam itu lari dari pemiliknya karena dia sudah tidak bisa menahan rasa laparnya. Kemudian dari gelagat anak ayam itu, dia terlihat ingin dipelihara oleh Anda. Maka sudah barang tentu Anda memberi dia makan tiap hari. Apa maksud Anda memberi dia makan setiap hari: (1) Apakah Anda hanya berniat membuat dia tetap hidup karena dia adalah makhluk hidup yang membutuhkan makan, (2) Ataukah Anda mempunyai niat untuk membuatnya gemuk agar pada saat disembelih nanti dagingnya banyak? Saya sebagai penulis memilih  nomor 1 karena saya tidak mau menyembelih binatang yang saya rawat, walaupun itu adalah binatang ternak. Jika Anda memilih nomor 2, itu juga wajar karena ayam diciptakan oleh Allah untuk dikonsumsi oleh manusia. Namun jika nomor 2 yang dipilih tapi pada suatu hari si pemilik anak ayam itu datang mencari dan mengambilnya, pasti Anda menyesal karena sudah terlanjur memberi anak ayam itu makan banyak.

Menuju pembahasan tentang niat melakukan perbuatan baik untuk kasus yang lain. Di suatu mushola, mestinya tersedia sajadah dan mukena lebih dari 1. Jika mushola itu ada pengurusnya, tentunya ada pengaturan tentang kapan waktunya mencuci dan siapa yang melakukan tugas itu. Jika Anda termasuk pengguna rutin mushola yang tidak ada pengurusnya, pernahkah hati Anda tergerak untuk membantu mencucikan sajadah dan mukena itu? Kalau tidak pernah terbersit di hati nurani sekalipun, berarti Anda egois (kalau tidak mau dikatakan sebagai orang yang tidak tahu malu).

Saya tinggalkan bahasan tentang orang yang egois untuk kasus sajadah dan mukena. Fokus saya adalah pada orang yang tergerak hatinya untuk mencucikan sajadah dan mukena itu. Pertanyaan saya adalah: apa maksud Anda jika Anda adalah orang yang memutuskan untuk membantu mencucikan: (1) Apakah ingin mendapatkan pahala dari Allah, (2) Ataukah supaya orang-orang lain yang sholat di mushola itu merasa nyaman dengan kebersihan perlengkapan sholatnya? Jika Anda memilih nomor 1, maaf jika saya mengatakan bahwa Anda adalah orang yang gila hormat, gila pangkat, gila jabatan, gila pujian. Ada motif tersembunyi di balik perbuatan baik Anda tersebut, yaitu upah. Akan lebih bijak jika nomor 2 dipilih; Anda menginginkan agar Anda dan orang-orang yang sholat di mushola itu merasa nyaman dan khusuk jika perlengkapan sholatnya bersih. Ibadah sholatnya lebih bermutu. Urusan pahala, terserah Allah; diberi pahala ya Alhamdulillah, tidak diberi pahala mestinya tidak masalah karena dilakukan dengan ikhlas.

(Tulisan dibuat berdasarkan pengalaman penulis)

No comments:

Post a Comment